Sabtu, 22 Februari 2014

Oleh: Azeza Ibrahim Rizki, pengamat Komunikasi

sejarah hollywood
Tahukah anda bahwa pada tanggal 1 Februari 1887, daerah yang kini bernama Hollywood baru saja didaftarkan secara resmi ke Kantor Pencatatan Daerah Los Angeles (county recorder’s office of los angeles). Hollywood saat itu luasnya sekitar 160 Ha dimiliki oleh pebisnis property, Harvey Wilcox.
Harvey yang lumpuh akibat polio berangan-angan bahwa tempat yang ia beli ini akan menjadi daerah khusus bagi komunitas Kristen yang saleh. Sebuah kota kecil utopis dimana kaum Kristen dapat hidup dengan moral yang terjaga dan jauh dari hal-hal jahat seperti minuman keras. Dengan harapan sedemikian, Harvey dan istrinya Daeida memberi nama daerah tersebut “Hollywood”.
Sayangnya waktu memupus harapan Harvey. Alih-alih menjadi kota utopis dimana kaum Kristen dapat hidup dengan ketaatannya, Hollywood menjelma menjadi industry raksasa perfilman yang penuh dengan fantasi, nuansa glamour, dan aktor serta aktris ternama.
Selain dari sekelumit fakta sejarah tentang asal-usulnya, Hollywood sebagai salah satu sentral industry film dunia, rupanya tidak hanya menampilkan hingar-bingar prestise dan gengsi yang menawan mata jutaan orang. Tapi dibalik itu semua, muncul kritik keras tentang isu kreatifitas.
Sequel,  AdaptationRemakeRipoff
Siapa yang tidak kenal agen 007, tokoh intelegent rekaan karya Ian Fleming ini sudah bolak-balik masuk layar lebar sebanyak 23 kali. Dengan 7 orang pemeran dan 15 director yang berebeda, serial agen 007 ini terbilang cukup sukses mempengaruhi perkembangan kultur pop, terbukti frase “Bond…James Bond” menjadi frase yang catchy dan marak digunakan khalayak.
Larisnya sosok Bond dengan beraneka gadget dan wanita-wanita cantik yang menyertainya tanpa kita sadari meninggalkan tanda tanya besar. Apa yang kita dapat setelah menyaksikan sepak terjang sang agen intelejen ini?
Hiburan?, jawaban yang terlalu klise untuk menjelaskan bagaimana mungkin masyarakat ini bisa dengan konstannya menikmati 23 serial James Bond yang terus diulang lewat berbagai media. Belum lagi jika kita melihat lebih dalam bahwa nyaris tidak ada perubahan konsep dari seluruh film Bond. Dan juga tanpa kita sadari, bukan hanya seri 007 saja yang terus diulang dengan sedikit tambahan kecil disana-sini, tapi hampir rata-rata semua film Hollywood.
Sequel, adaptation, remake, ripoff adalah istilah-istilah perfilman yang bisa disederhanakan pengertiannya dengan konsep “daur ulang”. Artinya, cukup kumpulkan materi dari berbagai sumber yang sudah ada (film, komik, game, novel dll), padu padankan satu sama lain dan jadilah film baru.
Banyak contoh film-film lainnya yang secara konsepsi isinya hanyalah pengulangan dari ide-ide yang sudah ada sebelumnya. “Avatar” garapan James Cameron mungkin jika dilihat dari genre fiksi ilmiah akan terlihat seolah-olah produk revolusioner.
Tapi jika kita lihat isinya, film “Avatar” tidak lebih dari pengulangan film-film sebelumnya seperti “The Last Mohicans”, “The Last Samurai”, “Dances with Wolf”, dan bahkan “Pocahontas”. Bersama film-film tersebut, “Avatar” masuk dalam sub genre dengan konsep “sorry about colonialism”.[1]
Contoh diatas belum mencakup film-film superhero yang hampir muncul setiap tahun dan tentunya dengan alur yang nyaris itu-itu saja.
Budaya Pop, Media Massa dan Hegemoni Pemikiran
Ada beberapa latar belakang penting untuk dipahami bersama agar dapat menjawab pertanyaan mendasar, soal mengapa kebesaran Hollywood tidak membuatnya menjadi lebih “kreatif”.
Pertama kita perlu menelisik kondisi sosial dan budaya masyarakat Barat diakhir abad ke 19 dan awal abad ke 20. Pada era ini, Barat mulai merasakan pergeseran besar dalam kehidupan sosial dan budaya. Jika sebelumnya ada agama dan keluarga yang menjadi salah satu pilar integrasi sosial, Barat yang sudah kadung jatuh hati dengan visi sekular liberalnya justru meninggalkan dua hal tersebut.
Efeknya individualism, anonimitas personal, dan isolasi sosial pun tak terhindarkan. Sadar bahwa mereka butuh “pengikat” sosial baru, para sosiolog Barat melihat bahwa media massa memiliki kapasitas sebagai “penghimpun” masyarakat sekular.[2]
Bersama dengan kondisi sosial masyarakat Barat yang pecah berantakan, media massa dengan kemampuan komunikasinya yang luas melahirkan fenomena budaya baru yang kemudian kita kenal dengan budaya pop atau pop culture. Dalam budaya pop, masyarakat tidak terikat atas dasar ikatan paradigmatis. Dalam budaya pop semua dianggap bersaudara asal sama-sama menunggang motor scorpio misalnya, atau kehormatan tidak lagi terikat pada adab dan budi pekerti, tapi dari seberapa mahal restoran yang sering kita kunjungi.
Sayangnya, Barat tidak berhenti di barat saja. Sebagai pemenang Perang Dunia II, Amerika menjadi duta besar Barat untuk seluruh dunia dengan penguasaannya yang besar terhadap ilmu-ilmu sosial dan media massa[3]. Hegemoni menjadi tidak terelakkan dan negara-negara yang dianggap kurang maju akan ditekan baik secara langsung atau tidak langsung untuk ikut pola sosial dan media massa karya Barat.
Remake Hollywood dan Hubungannya dengan Hegemoni Pemikiran
Penjelasan antara kondisi sosial, media massa dan hegemoni pemikiran diatas sejatinya memiliki kolerasi penting dengan konsistensi Hollywood mendaur ulang ide-ide dalam setiap filmnya. Kolerasi yang paling mudah dilihat adalah bahwa Barat yang diwakili oleh Amerika tidak pernah menginginkan hegemoninya digoyang dengan ide-ide serta pemikiran yang kontra.
Di sini, film-film Hollywood sebagai media massa berperan mempertahankan hegemoni Amerika dengan terus menggulirkan isu yang itu-itu saja. Perbedaan, perubahan gaya yang tidak signifikan serta atribut-atribut tambahan hanyalah bentuk pengelabuan.
Dalam film “World War Z” tahun lalu, Brad Pitt yang berperan sebagai perwakilan PBB dengan heroiknya menyelamatkan seorang tentara wanita Israel dari infeksi zombie. Alegori-alegori semacam ini akan terus dipertahankan, sebagai public relation atau humas dari Amerika Serikat, Hollywood akan terus “mengkomunikasikan” kepentingan Amerika ke seluruh dunia.
Pemuda Indonesia dan Kreativitas a la Hollywood
Hollywood yang tidak “kreatif” itu sayangnya masih dianggap sebagai kiblat pemuda-pemuda kita. Bisa kita lihat dengan mata gamblang berapa banyak remaja Indonesia yang gandrung dengan cerita cinta sekelas sinteron macam “Twilight Saga”, atau malah gemar dengan sosok playboyarogan macam Tony Stark?
Budaya pop yang menjangkiti pemuda-pemuda kita inilah yang membuat mereka krisis identitas, karena di umur yang sedemikian, pemuda kita yang rapuh ilmu agamanya dan rentan ikatan keluarganya ini akan mudah terseret arus mengidolakan figure yang bahkan sangat tidak bagus.
Celakanya, Hollywood bukan satu-satunya “tangan” yang mengontrol dan memastikan budaya pop menyebar secara massif ke seluruh dunia. Lewat dunia akademik kita dicekoki konsep-konsep sekular liberal, sementara budaya kita dikepung informasi satu arah menuju budaya popular. Jika kita masih bergerak lambat dan bersikap acuh tak acuh, mungkin anak-anak kita nanti akan memanggil orangtuanya dengan nama langsung, seperti yang dicontohkan film-film Hollywood itu.
Kreativitas itu sejatinya tersimpan dalam nilai dan makna, kalau Cuma ahlivisual effect, CGI, dan 3D, serahkan saja itu semua pada robot. Manusia menjadi mulia bukan karena tampilan tiga dimensinya.


[1] . Kirby Ferguson.  everythingisremix.info
[2]  Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa, terj. Putri Iva Izzati (Jakarta:Penerbit Salemba Humanika, 2012)
[3]  J. Tunstall, The Media were American, (Oxford: Oxford University Press, 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar